Merantau dan pulang kampung merupakan
tradisi yang sudah melekat erat dalam kehidupan masyarakat Sumatera Barat
(Minang). Merantau dan pulang kampung seperti dua sisi mata uang yang tak
terpisahkan. Seperti kata pepatah: “Karatau
madang di hulu bangungo babuah balun, marantau bujang dahulu, di rumah paguno
balun.”
Tradisi
merantau seperti sudah menjadi patron dalam siklus kehidupan masyarakat
Minangkabau. Pada tahap awal, lelaki Minang umumnya diberi pendidikan dasar
formal (setara dengan tingkat sekolah dasar sampai S1), tak lupa ditambahkan
pendidikan non formal berupa pengetahuan agama dan bekal ilmu bela diri
(pandai silek jo mangaji).
Seiring
dengan usai mendapat bekal dasar tersebut, pemuda Minang tadi biasanya
sudah mulai beranjak dewasa.
Maka
saatnya ia menyempurnakan “ilmunya”, sekaligus menjalani proses pematangan
diri tahap selanjutnya, yaitu dengan “merantau.”
Pada
masa merantau inilah seorang lelaki Minang diuji ketangguhannya. Apakah ia
akan muncul menjadi pemenang (winner)
atau terdepak menjadi pecundang (looser).
Namun disinilah letak keistimewaan masyarakat etnik Minangkabau. Di rantau
mereka merupakan pekerja yang ulet dan tangguh. Jika merintis karir di sektor
perdagangan, mereka muncul sebagai pedagang yang ulet dan sukses. Jika terjun
ke dunia politik dan berbagai profesi, mereka menjelma menjadi politikus dan
profesional yang tangguh dan berada di deretan papan atas.
Tentu
saja tak mudah menjadi pemenang di medan perantauan tersebut. Berbagai
tantangan, ujian dan cobaan harus mereka lalui. Sakit, pedih, pilu, suka
dan duka pasti mereka alami dan menjadi bumbu kehidupan sehari-hari di
perantauan. Namun kenyataannya banyak masyarakat Minang yang berhasil
mengatasi semua cobaan dan ujian berat tersebut. Mereka lalu keluar sebagai
pemenang (winner),
mereka berhasil menjadi kelompok orang-orang sukses. Kisah suka dan duka yang
selama ini mengiringi mereka justru menjadi bumbu pemanis untuk dikenang.
Bab
berikutnya yang terjadi, setelah mereka sukses di rantau adalah seperti kata
pepatah: “satinggi-tinggi
tabang bangau, akhirnyo babaliak ka kubangan juo”. Meski
terpaut jarak dan rentang waktu yang panjang , namun hati, fikiran dan
perasaan orang Minang tetap dekat dengan kampung halamannya serta sanak
kerabat dan keluarganya di kampung.
Maka
biasanya, momen Idul Fitri digunakan sebagai saat yang tepat bagi perantau
Minang untuk melepaskan kerinduannya kepada kampung halaman, saudara dan
karib-kerabatnya. Momen ini dipakai untuk melaksanakan prosesi pulang kampung,
baik secara perorangan maupun dengan cara pulang basamo.
Dari
tahun ke tahun hingga saat ini prosesi pulang kampung terus berlangsung
dan terlihat jelas di depan mata. Perantau Malalo, Perantau Sulit Aia, Perantau
Silungkang, Perantau Kinari dan berbagai daerah lainnya yang terlalu panjang
untuk diuraikan satu per satu, berlomba-lomba menggelar prosesi pulang basamo.
Acara silaturahmi tersebut berlangsung hangat dan meriah.
Tentu
saja mereka pulang kampung tidak dengan tangan kosong. Mereka selalu membawa
oleh-oleh untuk ditinggalkan dan dikenang di kampung. Ada yang meninggalkan
kenangan berupa dana untuk memperbaiki rumah mereka di kampung yang sudah mulai
menua, patungan membantu biaya sekolah kemenakan di kampung atau perantau
pulang basamo berpatugan untuk memperbaiki mesjid, sekolah atau jalan lingkungan
di kampung mereka.
Tak
jarang pula oleh-oleh itu berupa kerjasama bisnis seperti perantau membawa
saudaranya untuk ikut bekerja di tempat usaha mereka. Atau perantau
berinvestasi dengan membelikan kambing, sapi atau sawah untuk saudara dan
kerabatnya. Investasi ini kelihatannya memang kecil dan tak berarti, tapi jika
setiap nagari perantaunya membeli 10 ekor sapi, maka akan ada investasi lima
ratus ekor sapi, jika dilakukan di 50 nagari saja. Jika seekor sapi
bernilai Rp10 juta, maka akan ada investasi baru senilai Rp 5 miliar. Investasi
jenis ini menjadi istimewa dan tepat sasaran karena langsung diterima oleh
masyarakat dan jika masyarakat setempat mengelolanya dengan serius, akan
berdampak langsung untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
Disadari
atau tidak, tradisi merantau dan pulang kampung (mudik) merupakan sebuah kekayaan
sosial (social capital) yang memiliki
kekuatan luar biasa. Terbatasnya sumberdaya dan lapangan kerja yang ada
di kampung bisa diatasi dengan tradisi merantau. Sedangkan terbatasnya dana
APBD dan APBN untuk membangun daerah dan meningkatkan ekonomi masyarakat
selama ini telah terbukti bisa dilengkapi oleh perantau.
Kita
tentu menerima dengan tangan terbuka kontribusi dari perantau dimanapun
mereka berada dan dalam bentuk apapun mereka ingin berinvestasi. Mari kita bahu
membahu dan mengerahkan semua potensi untuk membangun dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Sumatera Barat menuju hari esok yang lebih baik.
Sekecil apapun kontribusi yang kita lakukan, sedikit demi sedikit tentu
lama-lama akan menjadi bukit dan menjadi amal di sisi Allah SWT.
Irwan Prayitno
Gubernur Sumbar
Haluan 27 Agustus 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bersyukurlah .....